Sunday

Belajar dari Post-it


Anda pernah mendengar, melihat atau bahkan menggunakan “Post-it”? Saya yakin bahwa banyak orang tahu barang apakah itu. Ya, Post-it adalah kertas perekat unik yang bisa memberikan informasi secara singkat namun sangat bermanfaat. Barang ini dapat dengan mudah ditemukan di meja-meja perkantoran dengan berbagai ukuran. Kebutuhan akan adanya Post-it cukup tinggi, bahkan bisa dikatakan setiap orang yang menggunakannya berkata can’t live without it.

Munculnya Post-it tentunya tidak dengan secara tiba-tiba ada begitu saja. Bila kita perhatikan sejarah lahirnya, dikutip dari The Original Story of Post-it ternyata dimulai pada tahun 1968 oleh seorang ilmuwan senior bernama Dr. Spancer Silver di Laboratorium Penelitian perusahaan 3M. Ia menemukan bahan perekat unik yang bisa digunakan berulang kali pada posisi yang berbeda-beda.Setelah itu ia menceritakan temuannya tersebut kepada ilmuwan 3M lainnya untuk mencari tahu kegunaannya.

Cerita berlanjut pada tahun 1974, saat menyanyi di paduan suara gereja, Art Fry seorang ilmuwan 3M seringkali kehilangan pembatas halaman pada buku lagu-lagu gerejanya. Seperti menemukan atas pencarian jawaban kegunaan Post-it, ia mencoba menggunakan perekat unik temuan Dr. Spencer untuk menyelesaikan masalahnya.

Setelah pengembangan produk selama bertahun-tahun termasuk memberikan sampelnya di daerah Boise, Idaho, akhirnya setelah para pemakai mencoba sejumlah 90%-nya menyatakan akan memakai Post-it Notes. Pada tahun 1980 Post-it Notes telah digunakan di seluruh dunia.

Secara ekstrim bila kita mencoba membayangkan apabila di dunia ini belum ditemukan Post-it Notes apa yang terjadi? Mungkin arus kecepatan informasi akan menjadi lambat sehingga bisa jadi proses pengambilan keputusan pun akan terhambat. Selayaknya para pemakai Post-it Notes perlu bersyukur atas ditemukannya benda itu.

Nah, bila kita memperhatikan cerita di atas, dapat diambil poin-poin pembelajaran bagi kita. Bahwa suatu ide atau gagasan sesederhana apapun haruslah diperhatikan karena bisa jadi dampaknya sangat besar di kemudian hari. Sedangkan mengenai product development yang dilakukan bertahun-tahun lamanya, haruslah dilihat sebagai proses continuous improvement hingga terbukti produk tersebut mempunyai utilitas yang tinggi bagi penggunanya.

Read More......

Thursday

Bagaimana Mengukur Evaluasi Training?

Keinginan belajar dan berbagi untuk orang lain akhirnya terwujud juga setelah kami menerbitkan sebuah buku. Buku “How to Measure 5 Levels of Training Evaluation” yang saya tulis bersama rekan saya Teguh Satriono ini pada awalnya muncul dari keinginan kami yang ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain. Berbekal pengetahuan yang masih terbatas dari bangu kuliah ketika mengambil Program Magister Manajemen di PPM Jakarta serta pengalaman sekian tahun bekerja di beberapa perusahaan pada bidang Human Resources Management dan Training, maka dengan tekad membaja akhirnya terwujud juga penulisan buku ini.

Mengapa kami menulis buku dengan topik Evaluasi Training? Hal itu tidak lepas dari pengamatan kami bahwa belum ada buku karya penulis Indonesia yang secara spesifik membahas tentang evaluasi training. Dengan memahami apa dan bagaimana evaluasi training, diharapkan efektifitas training pun akan dapat diukur. Mengapa efektifitas training begitu penting? Karena pada dasarnya training adalah suatu bentuk investasi yang ditanamkan organisasi pada karyawannya agar dapat meningkatkan kompetensi dan mendukung fungsi pekerjaan dan target-target yang ada.

Melalui konsep evaluasi training dari Jack J Phillips dan Ron Drew Stone dalam bukunya How to Measure Training Result (2002) dengan 5 level evaluasi, yaitu: Reaction, Learning, Behaviour, Result dan Return of Investment (ROTI) maka pembaca akan dapat memahami tahapan evaluasi dari yang sangat simple (reaction) hingga yang sangat kompleks (ROTI). Selain itu agar pembaca lebih mudah menerapkan evaluasi training tersebut, maka kami menyajikan 5 langkah praktis yang terdiri dari: Goals, Data, Measure, Analyze dan Result yang pastinya akan dapat membantu menjalankan masing-masing level evaluasi training tersebut dengan mudah.

Akhir kata tentunya materi buku ini masih jauh dari sempurna mengingat referensinya “hanyalah” berdasarkan pengetahuan dan pengalaman praktis kami semata, namun paling tidak kami berharap dapat menjadi oase yang menyegarkan bagi para pembaca khususnya rekan-rekan yang berkecimpung di dunia Human Resources Management dan Training atau Learning Development.

Read More......

Wednesday

Kekuatan Belajar dan Berbagi


Manusia oleh Tuhan diberikan suatu anugerah berupa akal budi yang membedakannya dengan makhluk lainnya. Dengan akal dan budinya, manusia selalu menimba ilmu untuk belajar agar dapat bertahan hidup, mengambil keputusan dengan tepat, meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu menghadapi masalah yang ada. Namun lebih jauh dari semua itu, bahwa esensi manusia belajar adalah dalam rangka perubahan. Perubahan bisa berarti manusia berubah menjadi lebih baik atau mampu bertahan menghadapi perubahan yang ada.

Kaitannya dengan proses besar pembelajaran manusia, ternyata manusia mengalami perkembangan dari dulu hingga sekarang. Seperti dideskripsikan oleh Charles Savage dalam “Fifth Generation Management” terdapat 3 (tiga) masa atau era perkembangan sosial ekonomi manusia. Era pertanian atau Agricultural Age adalah era yang pertama dimana kekayaan didefinisikan melalui kepemilikan lahan atau tanah. Selanjutnya adalah era industrial atau Industrial Age yang menganggap bahwa kekayaan itu didasarkan pada kepemilikan modal. Era yang terakhir adalah era pengetahuan atau Knowledge Age yang mendasarkan bahwa kekayaan tergantung pada kepemilikan pengetahuan dan kemampuan untuk menciptakan atau meningkatkan kualitas produk baik barang maupun jasa. Improvisasi produk didalamnya termasuk biaya, ketahanan, kesesuaian, kecepatan proses dan keamanan.

Dengan demikian tampak bahwa manusia yang selalu update dan mampu mengolah pengetahuan yang ada serta memberikan nilai tambah bagi lingkungannya akan tetap eksis menghadapi perubahan yang semakin cepat ini. Dalam konteks organisasi, manusia seperti itu disebut sebagai knowledge workers yang secara bertanggung jawab selalu belajar dalam melakukan improvisasi keseharian bekerjanya dalam rangka meraih tujuannya secara pribadi maupun organisasi.

BELAJAR

Agar selalu up date dan mampu mengolah pengetahuan menjadi nilai tambah, maka manusia perlu melakukan suatu aktivitas yang dinamakan dengan BELAJAR. Belajar tidak terbatas pada hal-hal seperti membaca buku dan menjalani pelatihan saja, namun lebih dari itu, belajar dilakukan secara paralel seiring dengan aktivitas riil pekerjaan sehari-hari. Dengan demikian improvisasi dan setiap proses bekerja yang didasarkan pada kata “belajar” secara bertanggung jawab tentunya dapat meningkatkan kualitas proses maupun hasil untuk selalu terus diperbaiki secara berkelanjutan atau continuous improvement.

Peter Senge dalam bukunya “The Fifth Discipline” menyatakan bahwa “dengan belajar serius kita dapat mengetahui secara baik apa yang kita kenal dengan nilai-nilai kemanusiaan. Melalui belajar kita membangun kembali diri sendiri. Melalui belajar kita menjadi mampu melakukan sesuatu yang belum pernah kita lakukan sebelumnya. Melalui belajar kita merasakan kembali dunia dan adanya hubungan diri dengan dunia. Melalui belajar kita memperluas kemampuan kita untuk mencipta, dan menjadi bagian dari proses pembangkitan kehidupan. Dalam diri setiap manusia terdapat rasa keinginan kuat untuk belajar”.

BERBAGI

BERBAGI mungkin merupakan kata yang sering kita dengar dan mudah diucapkan namun susah untuk diterapkan. Dalam persepsi kita, bila berbagi pasti memiliki konotasi adanya satu bagian yang akan hilang karena kita memberikannya pada orang lain. Namun bila kita berbicara tentang berbagi pengetahuan, maka ajaibnya pengetahuan kita tidak akan berkurang namun justru bertambah. Hal tersebut disebabkan oleh keunikan manusia berkaitan dengan pengetahuan, pengalaman, dan perasaan antara satu orang dengan lainnya pasti berbeda ditambah bahwa pengetahuan selalu berkembang. Itulah yang mengakibatkan ketika berbagi pengetahuan justru kita akan semakin kaya, karena adanya masukan-masukan dari orang lain.

Dalam kenyataannya ada sebagian orang yang merasa bahwa pengetahuan yang dimilikinya adalah merupakan kekuatannya atau Knowledge is Power. Bila ia berbagi akan merasa ketakutan dan kehilangan karena dalam persepsinya pengetahuan yang dimilikinya dianggap kunci dalam menentukan hidup mati karirnya. Sangat disayangkan bila di dalam organisasi terdapat orang seperti ini, karena tentu organisasi menjadi tidak berkembang dan hanya berpatok pada pengetahuan yang usang. Oleh karena itu syarat bagi orang yang ingin berbagi adalah memiliki keinginan untuk terus belajar secara bersama.

ORGANISASI YANG BELAJAR

Dengan mempelajari hakikat pembelajaran dengan benar, maka hubungan organisasi dan manusianya akan semakin baik. Perbaikan atas semua aspek didalamnya baik proses kerja, teknologi, maupun produk berupa barang atau jasa merupakan suatu tuntutan bagi organisasi dan setiap orang didalamnya. Ketika seseorang dan organisasi berkembang, maka ia akan merasakan suatu keterkaitan “emosional” yang cukup erat baik dengan organisasi maupun antar karyawan, “keasyikan” dalam melakukan pekerjaan, pelanggan akan terlayani dengan lebih baik dan organisasi pun akan memiliki masa depan yang lebih baik pula.

Barbara J Braham dalam bukunya “Creating a Learning Organisation” menyatakan bahwa organisasi yang mampu belajar dapat dibedakan dari organisasi lain dalam hal-hal di bawah ini:

• Pembelajaran merupakan bagian terpadu dari setiap aktivitas karyawan; belajar sudah menjadi bagian dari tugas, bukan beban tambahan
• Pembelajaran adalah sebuah proses, bukan sebuah peristiwa
• Kerja sama adalah landasan dari semua hubungan
• Setiap orang berkembang dan bertumbuh, dan dalam prosesnya mengubah organisasi
• Organisasi yang mampu belajar itu bersifat kreatif; setiap karyawan membangun kembali organisasi
• Organisasi belajar dari dirinya sendiri; para karyawan mendidik organisasi tentang efisiensi, peningkatan mutu dan inovasi
• Menjadi bagian dari organisasi yang mampu belajar adalah sesuatu yang menyenangkan dan menggembirakan.

Sebuah organisasi dapat belajar dan berbagi dari seluruh sumber informasi yang ada mulai dari pemegang saham, pelanggan, mitra atau partner, dan karyawan. Dengan demikian diharapkan konteks penciptaan nilai bisa didapatkan dari aktivitas belajar dan berbagi tersebut.

Beberapa sumber yang “kaya pengetahuan” tersebut sangatlah menguntungkan bagi organisasi bila dapat belajar dan berbagi bersama. Sebagai organisasi yang belajar tentunya terus berupaya untuk memfasilitasi adanya forum pembelajaran bagi karyawannya. Tujuan akhir dari adanya forum ini adalah terciptanya budaya dan kebiasaan belajar dan berbagi bersama antar karyawan sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas perusahaan dan juga individu.

Jadi bila kita telah memahami besarnya manfaat belajar dan berbagi tentunya tidak akan ragu untuk melakukannya. Yang jelas kekuatan belajar dan berbagi sangat dahsyat maknanya, tidak hanya bagi perusahaan namun juga bagi individu masing-masing. Dengan belajar dan berbagi kita akan lebih siap dan mampu menghadapi perubahan serta tantangan yang semakin besar.

Read More......